Ujian Nasional

0
443

DAMPAK NEGATIF UJIAN NASIONAL
oleh
Cucu Sutarsyah

Pelaksanaan ujian nasional sampai saat ini masih menuai pro dan kontra. Bermacam-macam pendapat muncul dikalangan masyarakat. Pendapat itu ada yang terkesan pesimis, menentang dengan keras dan ada juga yang mendukung. Ada juga pendapat yang mengandung bermacam-macam pengertian dan pendapat, bisa positif dan bisa negatif. Penulis tidak bermaksud mangatakan bahwa UN tidak bermanfaat, tetapi ingin menguariakan efek samping dari UN, sebagai mana obat yang kita minum.

Apapun alasannya, dalam setiap bentuk kegiatan pendidikan perlu adanya evaluasi, atau yang disebut ujian. Salah satu fungsi mengapa Ujian Nasional dilakukan adalah untuk memantau peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan (BSNP). Undang undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 pasal 58 ayat (2) mengamanatkan bahwa pemerintah melaksanakan UN. Dengan UN pemerintah dapat melakukan standarisasi dan pemetaan; daerah mana atau sekolah mana yang masih perlu perhatian, perlu peningkatan dan perlakuan/bantuan.
Selain itu hasil ujian digunakan untuk melakukan “feedback“, melihat kembali apakah kegiatan belajar berhasil, apakah tujuan yang telah ditetapkan tecapai, seberapa besar ketercapaiannya; kendala apa yang terjadi; hal apa yang belum tercapai. Analisis hasil ujian tetentunya digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan kebijakan, seperti, perbaikan kedepan, misalnya kurikulum, sarana belajar, tenaga pengajar. Dengan demikian ujian atau UN memiliki tujuan yang komprehensif dan strategis.
Para pendidik dan orang tua murid seharusnya menyadari bahwa ujian menghasilkan hanya dua kemungkinan, yaitu lulus atau tidak lulus. Sehingga apabila seseorang tidak lulus kenyataan ini merupakan hal yang wajar; artinya dalam dirinya masih ada kekurangan dan ketidak-mampuan atau belum menguasai kompetensi tertentu. Apabila seseorang yang tidak mampu, lalu dipaksakan lulus, maka tindakan ini sama saja menjerumuskan anak didik, suatu tindakan yang tidak bertanggung jawab. Anak akan mengalami kesulitan menghadapi masa depannya, baik itu pendidikan yang lebih tinggi atau dalam mendapatkan pekerjaan, dan yang lebih parah lagi dia tidak menyadari kelemahannya.

Masalahnya, bagi kepala sekolah atau guru, orang tua, birokrat (pemda dan Pendidikan), ketidak lulusan ini memang bisa menjadi aib, karena kegagalannya dalam menyelenggarakan proses belajar; apa lagi mereka mendapat tekanan dan ancaman dari atas.Tetapi bagi guru yang memiliki idealisme dan bertanggung jawab, hal ini merupakan hal yang wajar untuk sarana instropeksi, walupun pada dasarnya kegagalan bukan semata karena faktor guru. Sehingga guru atau kepala sekolah tidak perlu membantu anak didik dangan cara yang tidak wajar, semisal membentuk tim “sukses“, membagikan kunci jawaban kepada anak didik, semata-mata untuk kepentingan sesaat, demi gengsi. Bahkan lebih dari itu, guru yang mengajar hanya terfokus pada bagaimana mengerjakan soal UN atau sejenisnya (teaching to the test) bisa dianggap korupsi dalam pembelajaran (Radar, 24 Maret 2012).

Sekilas nampak bahwa tindakan ini baik, membantu, menolong anak supaya lulus; Ketika lulus, anak senang, orang tua senang semua senang; dan membuat orang senang itu baik. Tetapi banyak orang tidak menyadari atau mungkin sadar tetapi lebih mementingkan hal lain; betapa tindakan itu menimbulkan dampak negatif yang tidak kecil bagi kelangsungan generasi kita. Mungkin hal ini yang membuat kualitas pendidikan kita tetap terpuruk dibandingkan negara lain, semisal Malaysia.

Sebagian orang beranggapan UN itu antara hidup dan mati, lulus atau tidak lulus; tidak lulus artinya aib yang memalukan. UN telah menjelma menjadi pertaruhan kredibilitas. Sehingga akibatnya adalah orang (kepala sekolah, guru, siswa) dengan segala cara berusaha supaya anak didiknya lulus. Masalahnya cara yang ditempuh kebanyakan orang justru cara yang tidak mendidik dan cendrung berdampak negatif.
Dengan situasi yang demikian perhatian orang akan terfokus pada bagaimana lulus UN. Kegiatan belajar banyak terfokus pada bagaimana mengerjakan soal dengan benar, sehingga lulus dan dapat izajah. Pendekatan ini merupakan kegiatan yang berorientasi pada produk, tetapi tidak memikirkan proses. Sementara itu soal UN berbentuk objektif; artinya tidak semua kompetensi bisa diukur oleh tes yang seperti ini. Tes objektif tak dapat sepenuhnya mengukur keterampilan proses, seperti pola pikir, kreativitas, daya nalar yang bersifat argumentatif. Artinya secara sadar atau tidak, ada bagian yang terabaikan. Contoh yang sederhana, banyak siswa lulus ujian dengan nilai tinggi, misalnya, dalam mata pelajaran Bahasa Inggris, tetapi tidak mampu berkomunikasi dengan wajar. Karena yang dipelajari bukan bagaimanan cara berkomunikasi, tetapi belajar bagaimana mengerjakan soal-soal. Sementara itu paradigma pembelajaran menyatakan bahwa tujuan utama sesorang belajar bukan untuk mencari status, nilai tinggi, sertifikat (izajah), tetapi untuk menguasai kompetensi atau keterampilan (skill), pengatahuan yang berguna untuk hidupnya.

Para pembuat kebijakan berargumentasi bahwa tidak semua kompetensi diujikan dalam UN dan UN hanya bisa menggunakan soal objektif karena melibatkan siwa peserta ujian yang sangat banyak. Kompetensi lain diujikan di sekolah melalui US/UM. Jadi UN bukan satu-satunya penentu kelulusan. Hanya masalahnya, pihak sekolah dapat dipastikan akan ”menolong” anak didiknya supaya lulus semua dengan memberi nilai tinggi. Itu artinya UN tetap menjadi fokus perhatian.

Dampak yang terburuk dari UN ialah ketika kepala sekolah atau guru membantu dengan memberikan kunci jawaban terhadap siswanya. Tindakan ini akan merusak hakekat belajar yang sesungguhnya dan sekaligus merusak moral. Ketika hal ini menjadi sesuatu yang rutin dan terjadi di setiap sekolah, maka praktek pembelajaran hanya sebatas formalitas dan rutinitas; siswa yang motivasinya hanya mencari status (izajah), mereka sekolah, masuk kelas bukan berniat untuk belajar, bahkan mereka tidak tahu apa tujuan belajarnya. Mengapa demikain? Karena mereka tahu pada akhirnya mereka akan lulus juga dan dapat izajah dengan nilai tinggi karena ada “dewa“ penolong. Ketika hal ini terjadi secara konsisten, maka peran guru tidak berarti dan cendrung tidak diperdulikan oleh para siswa, sia-sialah usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kinerja guru dengan menghabiskan banyak biaya.

Ada suatu kasus di suatu sekolah. Untuk menghadapi ujian, anak-anak mendapat tambahan belajar. Namun beberapa anak malas mengikuti kegiatan ini. Setelah diselidiki alasannya ialah bahwa meraka tidak perlu repot, karena toh nanti ada “tim sukses“. Kasus ini bukan mustahil ada di sekolah-sekolah lain. Jadi tim sukse bukan hal yang rahasia, anak pun tahu. Keadaan ini diperparah ketika pejabat dinas Pendidikan tidak memiliki jiwa pendidik dan idealisme kependidikan. Hal ini termasuk korban otonomi, dimana kepala daerah berkuasa penuh mengangkat pejabat yang sering tidak sesuai dengan kemampuan dan latar belakang profesinya.

Contoh kasus adalah seorang pejabat dinas pendidikan berbicara di depan publik, guru-guru dan kepala sekolah. Dia mengatakan bahwa kita harus menolong siswa supaya lulus UN; dengan cara apapun, karena kalau banyak siswa yang tidak lulus akan menjadi beban kita semua, beban kepala sekolah, guru dan orang tua. Lalu dia mencontohkan kalau ini terjadi pada sekolah swasta dan banyak siswa yang tidak lulus, maka sekolah tersebut akan bangkrut, tidak ada yang mau daftar di sekolaha tersebut. Kalau pernyataan ini disampaikan oleh orang awam, maka hal itu nampak wajar; tetapi sebagai pejabat pendidikan, pernyataan itu sangat ”konyol”. Seharusnya dia mengatakan bahwa UN harus berjalan bersih, jujur, tidak ada kecurangan, tidak ada kunci jawaban yang beredar, sehingga kalau ini berlangsung terus, maka siswa akan serius belajar dan para guru akan bersemangat meningkatkan kinerjanya menghasilkan manusia cerdas dan beradab. Setiap sekolah akan bersaing dengan sehat untuk meningkatkan kulitas proses pembelajaran dan pelayanan. Sekolah yang baik akan menghasilkan lulusan yang baik; bukan malah sebaliknya, sekolah dengan kualitas rendah malah justru menghasilkan lulusan dengan tingkat kelulusan 100%; sementara sekolah yang lebih berkualitas meluluskan siswa kurang dari 100%; hal ini merupakan salah satu bentuk pembohongan dan pembodohan publik.

Dampak negatif yang lain dari praktek tim sukses in ialah merosotnya moral anak didik. Peran guru jelas harus memberikan contoh yang baik dan terpuji terhadap siswanya, (ing ngarso sung tulodo). Penanaman karakter yang positif dapat dilakukan dengan memberikan contoh perilaku yang terpuji dan berkarakter di depan anak didik. Ketika praktik ini (tim sukses) dilakukan, para siswa dipertontonkan suatu bentuk pelanggaran moral dan etika secara pulgar. Kepala sekolah atau guru secara tidak sadar memberi contoh atau malah mengajarkan pelanggaran moral dan aturan. Lama kelamaan kondisi seperti ini akan masuk ke dalam bawah sadar siswa bahwa pelanggaran, manipulasi, kebohongan itu hal yang biasa dan wajar, bahkan dilakukan oleh pejabat. Sudah bisa dipastikan produk pendidikan semacam ini setelah dewasa kelak akan menjadi pejabat yang korup. Akhirnya sekolah sebagai satu-satunya benteng pertahan moral anak bangsa akan runtuh. Kejujuran menjadi barang mahal dan langka di lembaga pendidikan; yang ada kejujuran semu. Maka benar kata orang bijak bahwa koruptor di negeri ini sulit diberantas karena bibit korupsi telah ditanam sejak dini di sekolah. Ironis sekali.

Sebagai penutup, seyogianya pemerintah sebagai pihak pembuat kebijakan memikirkan efek negatif dari pelaksanaan UN selama ini. Sampai sekarangpun orang belum percaya 100% terhadap hasil UN. Masyarakat sudah lelah, resah dan gelisah setiap tahun. Betapa banyak tenaga, pikiran dan dana telah dihabiskan untuk setiap pelaksanaan UN yang rata-rata 10,1 miliar rupiah untuk setiap provinsi (Lampost, 29 Maret 2012) dan 95 miliar untuk cetak soal (Lampost, 8 April 2013). Adakah alternatif lain sehingga orang tidak resah dengan adanya UN, misalnya kebijakan bahwa UN tidak merupakan ponis lulus atau tidak lulus. Tetapi siswa diberikan tanda taman Belajar dengan menyertakan hasil nilai murni. Setelah itu diserahkan kepada pengguna lulusan untuk menyikapi hasil dan prestasi belajarnya.

LEAVE A REPLY